MAri kita belajar dari gereja lain. Nih dia !!
Profil Pdm. Filipus Eddy Indrayanto (diambil dari Warta Plus Bethany, Edisi III, Desember 2004)
SOSOK worship leader enerjik ini unik. Meski merasa mendapat karunia sebagai pemimpin pujian, anehnya, Filipus mengaku tak menguasai satu pun alat musik. “Tapi, Tuhan memampukan saya untuk membedakan nada,” kisahnya. Apa saja ‘menu’ jasmani dan rohaninya?
Dalam setiap Ibadah Raya di hari Minggu, rata-rata tiga kali Pdm. Filipus Eddy Indrayanto melayani sebagai worship leader. “Kadang sampai empat kali. Pagi dua kali di Nginden, sore di Manyar, lalu petang kembali ke Nginden,” papar ayah tiga putera ini.
Pria kelahiran 13 Maret, 32 tahun silam, dengan gamblang mengungkapkan, sebagai figur yang menjadi koordinator untuk menjadi jembatan penghubung penyembahan antara jemaat, pelayan musik-pujian yang lain, dan Tuhan, tugas seorang worship leader tidaklah ringan.
“Seorang worship leader harus memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan. Caranya, ia harus berhubungan erat dengan Tuhan setiap hari, dengan hari Minggu sebagai klimaks hubungan itu,” kata Filipus.
Inilah alasannya mengapa kebaktian hari Minggu disebut sebagai Ibadah Raya, “Sesuai namanya, Ibadah Raya itu adalah perayaan dan puncak pertemuan dengan Allah. Kalau setiap harinya itu namanya ibadah biasa.”
Ia menekankan, kalau konsep ‘bertemu Tuhan setiap hari’ diterapkan, tak akan lagi ditemukan fakta seorang worship leader baru mencari-cari pertemuan dengan Tuhan saat Ibadah Raya berlangsung.
“Itulah sebabnya banyak worship leader tak bisa menjadi jembatan antara musik, pengkhotbah dan jemaat, karena melulu menganggap bahwa waktu ibadah itu merupakan saatnya mencari Hadirat Tuhan,” keluhnya. Filipus menegaskan, seorang worship leader yang berhasil dalam pelayanannya harus terlebih dahulu memiliki hubungan baik dengan Tuhan.
Persiapan Minggu Subuh
Setiap kali mendapat kepercayaan pelayanan sebagai worship leader di Ibadah Raya, Filipus selalu menyediakan diri bangun tidur pada pukul tiga dini hari. “Baik saya harus memimpin pujian jam enam, jam tujuh, atau jam sepuluh pagi, bangun tidur tetap jam tiga pagi. Itu wajib hukumnya,” papar Filipus, yang juga menjadi pengerja sepenuh waktu di Gereja Bethany Indonesia Nginden sejak empat tahun lalu.
Pada pukul tiga subuh itulah ia memulai penyembahan secara pribadi. “Saya bawa dalam doa nama-nama pelayan Tuhan yang akan terlibat. Mulai dari pengkhotbah, tim musik, kelompok paduan suara, dan singer,” ceritanya. Filipus menyambung, “Lewat doa, hati kita terbuka dan peka sehingga bisa membawa satu pelayan dengan lainnya dalam harmonisasi pujian dan penyembahan.”
Begitulah, hubungan antar karakter dengan sesama pelayan Tuhan telah terselami dalam doa, hingga saat mereka saling bertemu di balik mimbar menjelang dimulainya acara, tinggal ice breaking saja. “Ya… guyon-guyon ringan untuk membangun keakraban. Seorang worship leader juga dituntut untuk bisa berkomunikasi sebaik-baiknya, karena bagaimana pun, karakter setiap orang kan berbeda-beda,” ucap pelayan Tuhan yang 17 tahun lalu mengawali kiprahnya di Persekutuan Doa 73, yang kini menjadi Gereja Bethany Indonesia di Sumurwelut, Surabaya.
Bagi Filipus, ada alasan lain mengapa ia harus bangun jam tiga pagi. “Pada waktu sepagi itu, pita suara kita masih lentur, sehingga dengan menaikkan penyembahan dan pujian sejak awal, pita ini jadi elastis. Hasilnya jauh lebih baik daripada mau melayani jam tujuh, tapi baru bangun jam enam pagi,” tuturnya. Sambil warming-up melatih pita suara, tak lupa Filipus melatih bagian lainnya dengan senam-senam kecil dan jogging di kamar mandi.
Meski telah menggeluti peran sebagai worship leader cukup lama, Filipus mengaku sama sekali tak bisa menguasai alat musik. “Talenta saya memang suara, tapi saya ini sama sekali tak bisa main musik. Ini memang aneh, karena umumnya pemimpin pujian itu pasti menguasai alat musik. Lha ini, nadanya saja saya nggak tahu. Tapi, Tuhan memberikan kepekaan untuk membedakan nada satu dengan nada lainnya,” tukasnya.
Jangan Tergantung Seorang ‘Idola’
Istirahat yang cukup sebagai kunci persiapan fisik juga menjadi perhatian utama Filipus. “Tiap Sabtu, saya berkomitmen, jam terakhir untuk pelayanan adalah jam delapan malam. Setelah itu, jam sepuluh malam, saya sudah harus berangkat tidur,” jabarnya. Ada pula ‘menu khusus’ sebelum tampil. Dua hari sebelum acara, Filipus tak bakal menyentuh air dingin, gorengan dan tak lupa selalu mereguk minuman hangat.
Bagaimana dengan fenomena adanya jemaat yang ‘mengidolakan’ seorang worship leader? Filipus tak terlalu mempersoalkan hal itu. Dengan catatan, jemaat harus tetap memiliki hubungan baik dengan Tuhan. Sehingga tak sampai menimbulkan kesan ‘ketergantungan’ dalam memuji dan menyembah. “Siapapun yang memimpin, kalau ia punya hubungan yang dekat dengan Tuhan, pasti akan ‘tembus’ dengan Tuhan. Kalau mayoritas jemaat seperti itu, cara memimpinnya jadi mudah,” jelas pria bertubuh subur ini.
Sebaliknya, kalau kebanyakan jemaat tampil dengan membeda-bedakan figur worship leader, itu berarti kehidupan rohaninya belum matang. “Ia selalu tergantung siapa yang di depan. O, pemimpin pujian yang ini enak, tapi yang itu ‘ngangkat’,” ungkapnya. Keadaan seperti ini jugalah yang kerap kali membuat seorang worship leader merasa ‘berat’ dan ‘gak ngangkat’ dalam memimpin praise and worship. “Sebenarnya bukan masalah ngangkat atau tidaknya. Bukan soal ‘nembus’ hadirat Tuhan atau tidak, karena hadirat Allah itu pasti ada. Masalahnya, jemaat bisa merasakan hadirat itu atau tidak. Semua tergantung pada kesiapan pribadi jemaat. Kalau jemaatnya dewasa, pasti tidak akan terpengaruh siapa yang memimpin,” simpulnya. (Jj)
'MENU SPECIAL' PEMIMPIN PUJIAN
Petrus Suhardi, S.Pd, Kamis, 26 Februari 2009
Label:
PUJIAN PENYEMBAHAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar